Pendidikan lingkungan hidup

BAB II. ETIKA LINGKUNGAN HIDUP

A. Pengertian dan Definisi Etika Lingkungan
Etika (Bertens, 1993) berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan
atau adat. Etika identik dengan kata moral yang berasal dari kata latin mos, yang dalam
bentuk jamaknya mores yang juga berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral artinya
sama, namum dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas
dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian
sistem nilai-nilai yang ada. Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran
moral adalah ajaran wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sumber langsung
ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan agama, dan tulisan para bijak.
Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral.
Keraf (2005) memberikan suatu pengertian tentang etika lingkungan hidup adalah
berbagai prinsip moral lingkungan. Etika lingkungan tidak hanya dipahami dalam
pengertian yang sama dengan pengertian moralitas. Etika lingkungan hidup lebih
dipahami sebagai sebuah kritik atas etika yang selama ini dianut oleh manusia, yang
dibatasi pada komunitas sosial manusia. Etika lingkungan hidup menuntut agar etika dan
moralitas tersebut diberlakukan juga bagi komunitas biotis dan komunitas ekologis.
Etika lingkungan hidup juga dipahami sebagai refleksi kritis atas norma-norma dan
prinsip atau nilai moral yang selama ini dikenal dalam komunitas manusia untuk
diterapkan secara lebih luas dalam komunitas biotis dan komunitas ekologis. Etika
lingkungan hidup juga dipahami sebagai refleksi kritis tentang apa yang harus dilakukan
manusia dalam menghadapi pilihan-pilihan moral yang terkait dengan isu lingkungan
hidup. Termauk juga apa yang harus diputuskan manusia manusia dalam membuat
pilihan moral dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang berdampak pada lingkungan
hidup.
Etika lingkungan hidup merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis manusia
dalam mengusahakan terwujudnya moral lingkungan. Dengan etika lingkungan kita
manusia tidak saja mengimbangi hak dengan kewajiban terhadap lingkungan, tetapi etika
lingkungan hidup juga membatasi perilku, tingkah laku dan upaya untuk mengendalikan
berbagai kegiatan agar tetap berada dalam batas kelentingan lingkungan hidup. Jadi etika
lingkungan hidup juga berbicara mengenai relasi di antara semua kehidupan alam
semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan
antara manusia dengan mahkluk lain atau dengan alam secara keseluruhan, termasuk di
dalamnya berbagai kebijakan yang mempunyai dampak langsung atau tidak langsung
terhadap alam. Untuk menuju kepada etika lingkungan hidup tersebut, diperlukan
pemahaman tentang perubahan paradigma terhadap lingkungan hidup itu sendiri.
B. Paradigma Lingkungan Hidup
Paradigma adalah pandangan dasar yang dianut oleh para ahli pada kurun waktu
tertentu, yang diakui kebenarannya, dan didukung oleh sebagian besar komunitas, serta
berpengaruh terhadap perkembangan ilmu dan kehidupan. Harvey dan Holly (1981)
mengutip batasan pengertian paradigma yang dikemukakan oleh Kuhn dalam The
Structure of Scientific Revolution (1970) yang mengartikan paradigma sebagai
”keseluruhan kumpulan (konstelasi) kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, cara-cara
(teknik) mempelajari, menjelaskan, cakupan dan sasaran kajian, dan sebagainya yang
dianut oleh warga suatu komunitas tertentu”
Sejalan dengan perkembangan kebutuhan manusia, filsafat dan ilmu juga
berkembang semakin kritis dalam melihat dan mengkaji hubungan manusia dengan alam.
Bersamaan dengan itu, ada perubahan dalam melihat hubungan manusia dengan alam.
Perubahan hubungan manusia dengan alam tersebut mulai dari antroposentrisme,
biosentrisme dan ekosentrisme.
Antroposentrisme merupakan suatu etika yang memandang manusia sebagai
pusat dari sistem alam semesta. Di dalam antroposentrisme, etika, nilai dan prinsip moral
hanya berlaku bagi manusia, dan bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia
mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting diantara mahkluk hidup lainnya.
Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan
ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara
langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya
manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatau yang lain di
alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi
kepentingan manusia. Oleh karena itu, alampun dilihat hanya sebagai obyek, alat, dan
sarana bagi pemenuhan kebutuhan dna kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi
pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Murdy
dalam keraf (2005) ingin menyatakan bahwa yang menjadi masalah bukanlah
kecenderungan antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam semesta untuk
kepentingannya. Tetapi masalah dan sumber malapetaka krisis lingkungan hidup adalah
tujuan-tujuan tidak pantas dan berlebihan yang dikejar oleh manusia di luar batas
toleransi ekosistem itu sendiri. Akhirnya dengan demikian manusia bunuh diri. Krisis
lingkungan hidup bukan disebabkan oleh pendekatan antroposentris semata, tetapi
melainkan oleh pendekatan antroposentrisme yang berlebihan.
Biosentrisme, merupakan suatu paradigma yang memandang bahwa setiap
kehidupan dan mahkluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri,
sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Konsekuensinya, alam
semesta adalah sebuah komunitas moral, setiap kehidupan dalam alam semesta ini, baik
manusia maupun bukan manusia atau mahkluk lain, sama-sama mempunyai nilai moral.
Seluruh kehidupan di alam semesta sesungguhnya membentuk sebuah komunitas moral.
Oleh karena itu, kehidupan mahkluk hidup apa pun pantas dipertimbangkan secara serius
dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari perhitungan untung dan
rugi bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, etika tidak dipahami secara terbatas
dan sempit sebagai hanya berlaku pada komunitas manusia. Tetapi juga berlaku bagi
seluruh komunitas biotis termasuk komunitas manusia dan komunitas mahkluk hidup
lainnya.
Ekoseentrisme, merupakan suatu paradigma yang lebih jauh jangkauannya. Pada
ekosentrisme, justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup
maupun yang tidak hidup. Secara ekologis, mahkluk hidup dan benda-benda abiotis
lainnya saling terkait satu sam alain. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab
moral tidak hanya dibatasi pada mahkluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral
yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
Sebenarnya perubahan pandangan tersebut sudah dimulai sejak lama, dipelopori
oleh seorang tokoh dengan memperkenalkan istilah deep ecology. Deep Ecology adalah
suatu teori yang pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia
tahun 1973, dan sekenal sebagai salah seorang tokoh utama gerakan deep ecology
hingga sekarang. Deep Ecology menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat hanya
pada manusia, tetapi berpusat pada mahkluk hidup secara keseluruhan dalam kaitan
dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hdiup. Etika baru ini tidak mengubah
sama sekali hubungan antara manusia dengan manusia. Yang baru adalah manusia dan
kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala sesuatu yang lain. Manusia bukan lagi
pusat pusat dari dunia moral. Tetap lebih menyangkut gerakan yang jauh lebih dalam dan
komprehensif dari sekedar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis. Serta menuntut
suatu pemahaman yang baru tentang relasi etis yang ada dalam alam semesta disertai
adanya prinsip-prinsip baru sejalan dengan relasi etis baru tersebut, yang kemudian
diterjemahkan dalam gerakan atau aksi nyata di lapangan (Keraf, 2008).
C. Prinsip-Prinsip Etika Lingkungan
Prinsip etika lingkungan hidup dirumuskan dengan tujuan untuk dapat dipakai
sebagai pegangan dan tuntunan bagi perilaku manusia dalam berhadapan dengan alam,
baik perilaku terhadap alam secara langsung maupun perilaku terhadap sesama manusia
yang berakibat tertentu terhadap alam. Serta secara lebih luas, dapat dipakai sebagai
pedoman dalam pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan hidup
berkelanjutan.
Keraf (2005: 143-159) memberikan minimal ada sembilan prinsip dalam etika
lingkungan hidup. Pertama adalah sikap hormat terhadap alam atau respect for nature.
Alam mempunyai hak untuk dihormati, tidak saja karena kehidupan manusia bergantung
pada alam. Tetapi terutama karena kenyataan ontologis bahwa manusia adalah bagian
integral dari alam. Manusia anggota komunitas ekologis. Manusia merupakan makhluk
yang mempunyai kedudukan paling tinggi, mempunyai kewajiban menghargai hak semua
mahkluk hidup untuk berada, hidup, tumbuh, dan berkembang secara alamiah sesuai
dengan tujuan penciptanya. Maka sebagai perwujudan nyata dari penghargaan itu,
manusia perlu memelihara, merawat, menjaga, melindungi, dan melestarikan alam
beserta seluruh isinya. Manusia tidak diperbolehkan merusak, menghancurkan, dan
sejenisnya bagi alam beserta seluruh isinya tanpa alasan yang dapat dibenarkan secara
moral.
Kedua, prinsip tangungg jawab atau moral responsibility for nature. Prinsip
tanggung jawab disini bukan saja secara individu tetapi juga secara berkelompok atau
kolektif. Prinsip tanggung jawab bersama ini setiap orang dituntut dan terpanggil untuk
bertanggung jawab memelihara alam semesta ini sebagai milik bersama dengan cara
memiliki yang tinggi, seakan merupakan milik pribadinya. Tangung jawab ini akan muncul
seandainya pandangan dan sikap moral yang dimiliki adalah bahwa alam dilihat tidak
sekadar demi kepentingan manusia, milik bersama lalu diekploitasi tanpa rasa tanggung
jawab. Sebaliknya kalau alam dihargai sebagai bernilai pada dirinya sendiri maka rasa
tanggung jawab akan muncul dengan sendirinya dalam diri manusia, kendati yang
dihadapi sebuah milik bersama.
Ketiga, solidaritas kosmis atau cosmic solidarity. Solidaritas kosmis mendorong
manusia untuk menyelamatkan lingkungan, untuk menyelamatkan semua kehidupan di
alam. Alam dan semua kehidupan di dalamnya mempunyai nilai yang sama dengan
kehidupan manusia. Solidaritas kosmis juga mencegah manusia untuk tidak merusak dan
mencermati alam dan seluruh kehidupan di dalamnya, sama seperti manusia tidak akan
merusak kehidupannya serta rumah tangganya sendiri. Solidaritas kosmis berfungsi untuk
mengontrol perilaku manusia dalam batas-batas keseimbangan kosmis, serta mendorong
manusia untuk mengambil kebijakan yang pro alam, pro lingkungan atau tidak setuju
setiap tindakan yang merusak alam.
Keempat, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam atau caring for
nature. Prinsip kasih sayang dan kepedulian merupakan prinsip moral satu arah, artinya
tanpa mengharapkan untuk balasan. Serta tidak didasarkan pada pertimbangan
kepentingan pribadi tetapi semata-mata untuk kepentingan alam. Diharapkan semakin
mencintai dan peduli terhadap alam manusia semakin berkembang menjadi mnusia yang
matang, sebagai pribadi dengan identitas yang kuat. Alam tidak hanya memberikan
penghidupan dalam pengertian fisik saja, melainkan juga dalam pengertian mental dan
spiritual.
Kelima, prinsip tidak merugikan atau no harm, merupakan prinsip tidak merugikan
alam secara tidak perlu. Bentuk minimal berupa tidak perlu melakukan tindakan ayng
merugikan atau mengancam eksistensi mahkluk hidup lain di alam semesta. Manusia
tidak dibenarkan melakukan tindakan yang merugikan sesama manusia. Pada
masyarakat tradisional yang menjujung tinggi adat dan kepercayaan, kewajiban minimal
ini biasanya dipertahankan dan dihayati melalui beberapa bentuk tabu-tabu. Misalnya
pada masyarakat perdesasan yang masih percaya dan melakukan ritual di tempat
tertentu, seperti sendang (jawa) yaitu suatu lokasi keluarnya sumber air secara alami,
dipercayai memiliki nilai ritual tidak boleh setiap orang membuang sesuatu, tidak
diperkenankan melakukan kegiatan secara sembarangan, dan setiap hari-hari tertentu
dilaksanakan ritual. Siapa saja yang melakukan dipercayai akan mendapatkan sesuatu
yang kurang baik bahkan kutukan.
Keenam, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam. Prinsip ini
menekankan pada nilai, kualitas, cara hidup, dan bukan kekayaan, sarana, standart
material. Bukan rakus dan tamak mengumpulkan harta dan memiliki sebanyakbanyaknya,
mengeksploitasi alam, tetapi yang lebih penting adalah mutu kehidupan yang
baik. Pola konsumsi dan produksi pada manusia modern yang bermewah-mewah dalam
kelimpahan dan berlebihan, yang berakibat pada saling berlomba mengejar kekayaan
harus ditinjau kembali. Hal ini menyangkut gaya hidup bersama, apabila dibiarkan dapat
menyebabkan materialistis, konsumtif, dan eksploitatif.
Prinsip moral hidup sederhana harus dapat diterima oleh semua pihak sebagai
prinsip pola hidup yang baru. Selama tidak dapat menerima, kita sulit berhasil
menyelamatkan lingkungan hidup. Emil Salim (1987) memebrikan penejalsan bahwa di
Indonesia, sudah berulang kali dari pimpinan menganjurkan pola hidup sederhana, tetapi
yang seperti apa? Masih sangat subyektif, karena harus disesuaikan dengan keadaan
masing-masing masyarakat, dan ukuran yang pasti belum ada. Untuk menuju pola hidup
sederhana orang diminta untuk tenggang rasa, tetapi karena tidak semua orang peka
untuk tenggang rasa, hasil anjuran untuk hidup sederhana belum banyak berhasil. Tetapi
etis dapat menjadi dorongan yang amat kuat, apabila dapat dibina dengan baik. Misalnya,
apabila rasa bangga untuk hidup mewah dapat diubah menjadi rasa malu, perasaan etis
ini dengan sangat efektif akan menghambat pola hidup mewah. Contoh dalam kehidupan
sehari-hari dapat dilakukan mulai dari lingkup rumah tangga, di lembaga-lembaga
pemerintahan maupun swasta, dan juga masyarakat.
Ketujuh, prinsip keadilan. Prinsip keadilan sangat berbeda dengan prinsip –prinsip
sebelumnya. Prinsip keadilan lebih ditekankan pada bagaimana manusia harus
berperilaku satu terhadap yang lain dalam keterkaitan dengan alam semesta dan
bagaimana sistem sosial harus diatur agar berdampak positip pada kelestarian
lingkungan hidup. Prinsip keadilan terutama berbicara tentang peluang dan akses yang
sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan
pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian alam, dan dalam ikut menikmati
pemanfatannya.
Kedelapan, prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi sangat terkait dengan hahikat
alam. Alam semesta sangat beraneka ragam. Keanekaragaman dan pluralitas adalah
hakikat alam, hakikat kehidupan itu sendiri. Artinya, setiap kecenderungan reduksionistis
dan antikeanekaragaman serta antipluralitas bertentangan dengan alam dan anti
kehidupan. Demokrasi justru memberi tempat seluas-luasnya bagi perbedaan,
keanekaragaman, pluralitas. Oleh karena itu setiap orang yang peduli terhadap
lingkungan adalah orang yang demokratis, sebaliknya orang yang demokratis sangat
mungkin seorang pemerhati lingkungan. Pemerhati lingkungan dapat berupa
multikulturalisme, diversifikasi pola tanam, diversifiaki pola makan, keanekaragaman
hayati, dan sebagainya.
Kesembilan, prinsip integritas moral. Prinsip integritas moral terutama
dimaksudkan untuk pejabat publik. Prinsip ini menuntut pejabat publik agar mempunyai
sikap dan perilaku yang terhormat serta memegang teguh prinsip-prinsip moral yang
mengamankan kepentingan publik. Dituntut berperilaku sedemikian rupa sebagai orang
yang bersih dan disegani oleh publik karena mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap
lingkungan terutama kepentingan masyarakat. Misalnya orang yang diberi kepercayaan
untuk melakukan Analissi Mengenai dampak Lingkungan (Amdal) merupakan orangorang
yang memiliki dedikasi moral yang tinggi. Karena diharapkan dapat menggunakan
akses kepercayaan yang diberikan dalam melaksanakan tugasnya dan tidak merugikan
lingkungan hidup fisik dan non fisik atau manusia. Murdiyarto (2003) menjelaskan bahwa
Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB)
memiliki prospektif global yang menyangkut banyak kepentingan berbagai pihak, baik
secara kolektif maupun secara individu.
Kesembilan prinsip etika lingkungan tersebut diharapkan dapat menjadi filter atau
pedoman untuk berperilaku arif bagi setiap orang dalam berinteraksi dengan lingkungan
hidup sebagai bentuk mewujudkan pembangunan di segala bidang. Baik pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup atau pembangunan berwawasan lingkungan
hidup berkelanjutan.
Secara diagramatis, keterkaitan antara filsafat, logika, estetika, dan etika, dalam
membentuk norma dalam bermasyarakat yang terbentuk berdasarkan ilmu dan agama
(wahyu), dan selanjutnya menjadi dasar di dalam mengkritisi etika lingkungan untuk dapat
menjadi pedoman, pandangan bagi perilaku setiap orang terhadap lingkungan hidupnya
, karena setiap orang memiliki dan mengkaji ilmu dari berbagai aspek dan
disiplin ilmu yang berbeda.

D. Perilaku Manusia terhadap Lingkungan Hidup
Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas, baik yang dapat diamati
langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar (Atmadja, 2003). Sniker (1938)
merumuskan perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar), oleh karena itu perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus
terhadap organisme termasuk manusia, dan kemudian akan merespon. Maka teori Sniker
terkenal dengan teori ”S-O-R”.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan
menjadi dua yaitu pertama perilaku tertutup, adalah respon seseorang terhadap stimulus
dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi belum
dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Kedua perilaku terbuka, adalah respon
seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon
terhadap stimulus ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice.
Rogers (1974) mengungkapkan terjadinya proses perilaku, bahwa sebelum
seseorang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut
terjadi proses yang berurutan adalah awareness (kesadaran), interest (ketertarikan),
evaluation (menimbang-nimbang baik tidaknya bagi dirinya), trial (mencoba) dan adoption
(beradaptasi untuk berperilaku baru dan sudah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuanm, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Perilaku manusia terhadap lingkungan hidupnya telah dapat dilihat secara nyata
sejak manusia belum berperadaban, awal adanya peradaban, dan sampai sekarang pada
saat peradaban itu menjadi modern dan semakin canggih setelah didukung oleh ilmu dan
teknologi. Ironisnya perilaku manusia terhadap lingkungan hidup tidak semakin arif tetapi
sebaliknya. Beberapa perilaku manusia terhadap lingkungan hidup yang pernah terjadi
dapat dilihat dari beberapa laporan yang ada, yaitu terjadinya malapetaka lingkungan di
Ethiopia Afrika tahun 1980 berupa kekeringan dan kelaparan berawal dari pertumbuhan
penduduk yang tinggi, penggundulan hutan, erosi tanah yang meluas, dan kurangnya
dukungan terhadap bidang pertanian (Brown, 1987). Bocornya pabrik pestisida di Bopal
India dan bencana yang terjadi di Chernobyl Rusia ternyata menimbulkan pencemaran
lingkungan, kematian, dan gangguan kesehatan seperti kebutaan, kemandulan, penyakit
kulit, cacat seumur hidup (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, 1988).
Bencana tanah longsor yang disebabkan kekurangcermatan dalam memilih lokasi
bermukim, bencana banjir yang disebabkan karena aliran sungai tidak dapat berfungsi
sesuai kaidah karena dipenuhi dengan sampah yang dibuang sembarangan, terjadinya
ledakan bom di berbagai lokasi yang tidak mengenal dengan jelas apa tujuannya,
beberapa hal tersebut menambah deretan panjang ketidakarifan perilaku manusia
terhadap lingkungan hidupnya. Sebenarnya kemajuan ilmu dan teknologi diciptakan
manusia untuk membantu meemcahkan masalah tetapi sebaliknya malapetaka menajdi
semakin banyak dan kompleks. Oleh karena itu dianjurkan untuk dapat berperilaku
menjadi ilmuwan yang amaliah melalui amal yang ilmiah.
Brundtland, (1988) memberikan gagasan bahwa melalui partisipasi masyarakat
diharapkan dapat dikembangkan perubahan sikap dan norma-norma perilaku manusia
yang baru dalam bertindak terhadap lingkungan hidup. Keraf (2005) juga telah
memberikan sembilan prinsip etika lingkungan yang telah diuraikan pada sub bagian
sebelum uraian sub bab ini, untuk menjadi pedoman berperiliku terhadap lingkungan
hidup. Sekecil apapun perilaku manusia terhadap lingkungan hidupnya harus segera
diperbuat, tidak ada kata terlambat. Lebih baik terlambat dari pda tidak berperilaku arif
sama sekali terhadap lingkungan hidup. Bumi ini adalah warisan nenek moyang yang
harus dijaga dan diwariskan terhadap anak cucu kita sebagai generasi penerus
pembangunan yang berwawasan lingkungan berkelanjutan.
Lingkungan hidup terbagi menjadi tiga yaitu lingkungan alam fisik (tanah, air,
udara) dan biologis (tumbuhan – hewan), lingkungan buatan (sarana prasarana), dan
lingkungan manusia (hubungan sesama manusia). Bentuk perilaku terhadap lingkungan
hidup juga mencakup ketiga macam lingkungan hidup tersebut.
Perilaku manusia terhadap lingkungan alam fisik (tanah air dan udara), dapat
dilakukan secara individu maupun kelompok. Beberapa contoh yang dapat dilakukan
meliputi: tidak merusak tanah, melakukan penanaman secara terasering untuk lahan
dengan kemiringan tertentu, tidak membuat rumah di lahan dengan kemiringan lebih dari
45 derajat. Tidak menggunakan air secar aboros, menutup keran air sebelum
meninggalkannya, tidak membuang sampah di aliran air . Menanam pohon di setiap
tempat yangn dapat ditanami, tidak membiarkan lahan menjadi lahan tidur atau dibiarkan.
Dalam rangka usaha manusia untuk menjaga lingkungan hidup, telah banyak
bermunculan perilaku nyata yang berupa gerakan-gerakan. Berbagai geraka dapat
bersifat individu, berkelompok, swasta maupun pemerintah. Pada era 1970-an muncul
bebrapa lembaga yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan hidup, antara lain
adalah LP3ES, Bina desa, Yayasan Lembaga Konsumen, Himpunan untuk Kelestarian
Alam Indonesia, Yayasan Pendidikan Kelestarian Alam, Yayasan Indonesia Hijau, Ikatan
arsitek Landssekap Indonesia, Media Mutiara, Mapala, Perhimpunan Burung Indonesia,
WALHI, PSL, SKEPHI, KRAPP. Pada lewel pemerintah yang dimulai dari presiden,
menteri, Bapedal, Bapedalda, Kantor lingkungan Hidup, dsb. Wadah tidak menjadi hal
yang penting untuk dipermasalahkan, yang lebih penting bentuk konkrit yang harus
dikalukan oleh semua pihak dalam berinteraksi dengan lingkungan hidup.

Evaluasi
1. Jelaskan apakah yang saudara ketahui tentang etika lingkungan hidup.
2. Jelaskan dengan contoh sembilan prinsip etika lingkungan hidup.
3. Jelaskan bagaimana perbedaan pokok antara paradigma antroposentrisme,
biosentrisme dan ekosentrisme
4. Identifikasi beberapa perilaku arif terhadap lingkungan hidup yang ada di
lingkungan tempat tinggal saudara dalam kehidupan sehari-hari. Dengan peta
sebagai alat bantu.
5. Sebutkan apa saja yang telah saudara lakukan setiap hari terkait dengan perilaku
arif terhadap lingkungan hidup fisik, buatan, dan manusia.
6. Datanglah ke lokasi tempat pembuangan sampah sementara atau akhir (TPS atau
TPA), amati dan identifikasi ada berapa jenis sampah disitu, serta kira-kira
volumenya berapa setiap satuan waktu, buat tabelnya, diskripsikan, diskusikan,
dan simpulkan. Bagaimana pendapat saudara terhadap fenomena lingkungan
seperti hal tersebut.
7. Bagaimana pendapat saudara apabila melihat dan memakai bahan stereofoam
yang dipakai untuk bahan pembungkus atau pengemas makanan? Diskusikan
dengan teman-teman.
8. Bagaimana pendapat saudara dengan fenomena pembangunan real estate di
suatu lokasi dengan kemiringan lereng lebih dari 45 derajat? Idensifikasi, masalah
apa yang sering terjadi, rumuskan dan diskusikan dengan teman saudara


Daftar Pustaka
Anonim. 1997. Pedoman Pembinaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Penddikan
Dasar dan Menengah.
Berten, K., 1993. Etika. Jakarta. Gramedia. Ganter, Grace and Margaret Yeakel. 1980.
Human Behavior and the Social Environment a Perspective for Social Work
Practice. New York. Columbia Unievrsity Press.
Gunawan, Totok. 2003. Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan.
Jakarta . Depdiknas.
Gunn, Alastair S dan P. Aarne Vesilind. 1986. Environmental Ethics For Engineers. New
Zealand. Lewis Publishers, Inc.
Keraf, A. Sonny. 2005. Etika Lingkungan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
Murdiyarso, Daniel. 2003. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih. Jakarta. Penerbit
Buku Kompas.
Soerjani, Moch. Rofiq Ahmad, Rozy Munir. Editor. 1987. Lingkungan: Sumber daya Alam,
dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta. Penerbit Universitas indonesia.
Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar. Yogyakarta. Kanisius.

Tidak ada komentar: